Rabu, 21 Februari 2018

Munafik

Munafik

Assalamu'alaikum wr wb.

Apa yang terlintas dibenakmu ketika mendengar kata munafik? Kita seringkali mengatakan seseorang muna ketika apa yang terucap dari bibirnya dengan tingkahnya tidak sinkron dan cenderung memakai topeng. Sikap ini sebetulnya lumrah saja dimiliki oleh manusia mengingat manusia pada dasarnya memang tak bisa jauh dari dosa. Tapi seharusnya kita sebagai manusia yang berakal harus bisa membedakan mana sifat baik yang perlu dipelihara dalam tubuh kita dan mana sifat tercela yang seharusnya kita musnahkan karena merupakan hama yang akan merusak kebaikan yang kita tanam. Dan munafik merupan sifat tercela. So, mari sama-sama hilangkan sifat munafik dari dalam kita.


Tunggu, bagaimanakah kita bisa tau dimana letak kemunafikan dalam diri kita? Nah dalam salah satu hadis yang sering di ajarkan di sekolah disebutkan tanda-tanda orang munafik ada tiga macam, yaitu apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila dipercaya ia mengkhianati. Jujur aku tidak tau jelas mengenai sanadnya jadi mohon konfirmasi ke guru agamanya masing-masing mengenai hal ini. Ku tau persis perihal belajar agama harus ada gurunya agar ilmu itu jelas sampai kepada Rasulullah atau tidaknya.

Nah. Kali ini aku akan lanjutkan perihal apa yang aku rasakan belakangan ini hingga aku merasa menjadi manusia munafik yang menyebalkan. Juga tak menyehatkan bagi tubuh dan jiwaku yang ku akui masih jauh dari kata sempurna.

Pertama, aku kenal dekat seseorang. Dia adalah temanku kita tiap hari bersama hingga hampir semua tentangnya aku mengetahuinya tapi datang saatnya dia begitu anggun dihadapan teman-temannya yang lain hingga cenderung pendiam bahkan kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah suatu kebaikan yang ku tau persis tak diamalkan dalam tindakannya. Itu membuatku ingin mencekik leherku sendiri karena ingin sekali ku katakan pada dunia bahwa dia bukan seseorang seperti yang diucapkannya. Tapi aku bungkam saja karena selain ia adalah temanku, guru agamaku mengajarkan aku untuk tidak mengumbar aib orang lain dan menutupinya. Karena jika aku mengumbarnya sama saja aku menggunjing dan kita semua tau menggunjing itu perusak amalan. Bahkan diibaratkan memakan daging saudaranya sendiri. Naudzubillah. Tapi ketika tertawa seolah mengiyakan ketika ditanya mengenai ucapannya pun ku merasa sedang berdusta. Aku merasa jadi orang munafik.

Kedua, aku merasa telah mengecewakan Allah SWT. Bagaimana tidak? Aku terus memikirkan aku merupakan orang yang sama seperti temanku yang ku sebutkan diatas ketika ku ingin posting-posting mengenai agama. Sebab kini aku sudah tidak punya guru ngaji lagi dan di kampus pun dosen agama tak membantu banyak. Niatku sebetulnya baik untuk mengajak orang berbuat kebaikan tapi dengan mengatakan mengenai kalam Allah dalam Al-Qur'an yang belum ku khatami sampai umurku 19 sekarang ini juga belum ku dalami maknanya bahkan jangankan mempelajari lebih mendalam Taawuz dan Al-Fatihah saja ku belum betul. Aku jadi merasa kecewa pada diri sendiri. Kadang aku menyesal keluar dari pesantren.

Mungkin sementara itu saja yang bisa ku sampaikan. Terima kasih. Mohon koreksi tiap-tiap amalan yang ku berikan. Kurang lebihnya ku mohon maaf.

Selasa, 06 Februari 2018

Kalut

Kalut
Assalamu’alaikum,

Kata orang hidup ini adalah pilihan. Bahkan dalam buku Beyond The Inspiration sang penulis menyebutkan kalau memang hidup ini pilihan, apa yang kita alami saat ini adalah sebuah hasil dari pilihan kita kemarin dan apa yang kita akan pilih bahkan telah kita pilih merupakan pilihan kita atas hasil di masa depan.



Hari ini aku insaf akan kepapaanku yang belum bahkan mungkin tidak pernah benar-benar bisa memilih jalan hidupku; apa yang aku mau, apa yang sebetulnya aku ingin lakukan, dan mana yang harus aku pilih. Aku merasa tak berguna belakangan ini. Ternyata memiliki IP sedikit lebih baik dari teman-temanku tidak menjamin aku pandai menentukan pilihan. Tak ada yang benar-benar ku pilih dengan baik.

Aku rindu masa-masa semua teman-temanku peduli padaku. Bukan berarti sekarang mereka mengacuhkanku namun semakin hari perasaanku kepada mereka dan mungkin sebaliknya semakin renggang. Aku merasa tak ada yang bisa benar-benar ku harapkan dari hubungan yang kian luntur. Dulu dibeberapa waktu dan dengan teman yang berbeda. Selalu ada diantara mereka yang datang menghampiriku dan bertanya apa yang terjadi padaku. Dengan tulus (Setidaknya itu yang terlihat di mataku).

Lagi-lagi aku merasa terpuruk. Tadinya aku fikir bisa menghadapi kenyataan bahwa aku bisa sedikit mandiri dan bisa memilih jalan hidupku sendiri tanpa meminta nasihat orang lain. Namun pada kenyataannya, aku di kejutkan dengan kehausan akan teman yang selalu ada saat aku membutuhkan bahu untuk sekadar bersandar tanpa muluk-muluk menginginkan sebuah tepukan sebagai respons. Bahkan dengan tetap berada di sisiku tanpa melakukan apapun, hanya mendengarkan apa yang aku ceritakan, aku bahagia, aku akan berfikir aku orang beruntung.

Disaat seperti ini, ingatan akan banyaknya peruntunganku di waktu-waktu yang telah lewat tidak banyak membantu. Aku merasa menjadi seseorang yang bahkan tak punya prinsip dan tidak pernah beruntung. Ku jadikan satu ketidakberuntunganku tuk ku jadikan dalih atas keberuntungan-keberuntungan yang telah lalu. Aku lelah. Aku ingin melepaskan semuanya. Bahkan kadang ku berfikir tuk benar-benar melepaskan.

Disaat seperti ini pula, aku sadar bahwa aku tetep polos bahkan mungkin bodoh. Alih-alih memikirkan sahabat-sahabatku tuk datang kepadaku, menghiburku. Aku malah memikirkan salah satu temanku yang jelas-jelas mungkin aku tak pernah berada di daftar atas orang-orang penting terdekatnya. Kita hanya pernah tak sengaja terjebak dalam suatu dimensi kebersamaan, dimana kita dituntut untuk terus-terus bersama dan bodohnya aku terlena begitu saja. Mungkin bisa ku katakan sebujurnya padanya, dia akan mengolokku sebab rasanya aku seperti menjilat ludahku sendiri jika benar-benar mengatakannya.

Diam-diam aku berharap dia masih peduli kepadaku. Dulu saat semua orang seakan ditelan bumi, ia datang dengan caranya sendiri. Hari ini, aku mengharapkan hal serupa. Rasanya bila bungkam bukanlah emas aku ingin menyatakan bahwa aku kalah. Aku akan utarakan bahwa aku hampir gila beberapa kali menunggunya mengajakku berinteraksi. Aku ingin bilang kepadanya, kalau aku muak dengan semua yang berhubungan dengannya, bayangkan saja dirinya yang hanya menjadikanku salah satu bukan satu-satunya selalu mengganggu fikiranku. Ia selalu melintas di benakku saat aku menggunakan baju putih, kerudung putih, membaca novel Tere Liye, berkutat dengan buku sastra, saat berpuisi, saat malam tiba, saat ada umpatan-umpatan kata kasar, saat menangis dan masih banyak lagi.

Aku tidak menyukainya. Sungguh. Hanya aku sedikit tidak rela ketika ia mendapatkan perhatian lebih dari teman-temannya. Mungkin aku iri. Aku selalu mencoba memikirkan bahwa aku hanya iri kepadanya tanpa maksud yang lain. Karena iri merupakan hal yang tidak baik maka aku harus memperbaiki diri tuk tidak melakukannya lagi. Sungguh. Benar-benar iri yang aneh yang pernah ku temui.

Perihal pilihan yang tak kunjung bisa ku pilih. Aku berharap ada seseorang yang datang tuk menuntunku. Aku ingin bercerita kepada sahabatku namun rasanya itu hanya sebuah cerita yang tak ada apa-apanya di pendengaran mereka, bahkan mungkin diawal cerita mereka akan bosan mendengar ceritaku yang terus-terusan seperti ini. Semoga hanya aku yang merasa demikian bukan kalian. Tapi tetap saja, aku tidak boleh membebankan orang-orang yang memang tak mau mendengarkan cerita kita untuk mendengarkan sebuah cerita yang begitu penting dalah hidup kita namun tidak ada apa-apanya di kehidupan mereka. Rasanya akupun ingin tak peduli namun untungnya seseorang perbah mengajariku tuk menjadi pendengar yang baik.

Hanya kertas yang merupan teman setia. Sudah sering ku katakan bukan ketika aku menulis hal-hal semacam ini merupakan salah satu cara aku untuk menemukan jawaban akan sebuah masalah? Sebab terkadang dengan sendirinya jawaban itu keluar begitu saja ketika aku terus menerus menuangkan apa yang ada di benakku. Aku tak tahan tidak menulis. Sebab setelah menulis ada suatu kepuasan sendiri bagiku, semacam kelegaan untuk mengungkapkan apa yang ingin ku ungkapkan detail yang tidak tau ku harus ungkapkan kepada siapa.

Kadang disaat seperti ini aku merasa aku hanya Hamba-Nya yang menyebalkan. Merasa tak ada tempat tumpuan lain ketika ada masalah. Padahal pada sebuah kultum di kelas aku pernah mengatakan bahwa masalah datangnya dari Allah SWT. Dan hendaknya kita memohon ampunan kepadanya dan meminta petujuk akan masalah kita. Bahkan dalam surat Ar- Ra’du kalau tidak salah ayat 29 Allah telah memberikan kita salah satu cara untuk menentramkan hati kita, yaitu dengan mengingat Allah, karena hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. Rupanya mengajarkan hal-hal seperti itu lebih mudah jika sebatas hanya dimulut sulit betul di praktikkan dalam kehidupan nyata.
Ya Allah, Ya Illahi Rabbi, Aku mohon ampun, jika berkenan mohon kiranya berikan aku petunjuk akan masalah yang sedang kuhadapi. Aamiiin.

Yap sepertinya ku sudah menemukan jawaban atau kekalutanku. Terima kasih. Semoga ketika hal serupa suatu ketiak menimpamu, kau lebih beruntung karena bisa dengan mudah memecahkannya. Aamiiin.

Wassalamu’alaikum wr wb. 

Jumat, 17 November 2017

Nasihat untuk Cinta yang Durhaka

Nasihat untuk Cinta yang Durhaka


Pulanglah nak!
Tak akan ada yang kau dapatkan disana
Selain rasa benci dan cemburu yang merajalela
Tutuplah matamu dengan kain hitam
Agar tak ada setitik cahaya kepedihan yang merasuk dalam jiwamu yang sendiri

Lekaslah nak!
Buah tanganmu dan semua yang ada pada dirimu hanyalah paduan kesedihan yang bom waktu
Kau kan hancurkan diri sendiri ketika kau nekat mendekat
Kau akan porak poranda menjadi puing-puing ketidakadilan kasihmu.

Jangan melamun terlalu lama nak!
Pegang dadamu dan rasakan getaranmu yang tak kan kau dapat balasab balik
Ia hanya akan menjelma granat yang siap meledak
Ku sudah jelaskan kau kan jadi sampah bahkan hanya puing-puing sia-sia

Menolehlah nak! Menolehlah ketika ada yang mengajakmu bicara!
Disini, aku sebagai orangtuamu sedang menasihatimu
Demi kebaikan mu dan juga aku sendiri
Sebab, cinta sejengkal saja kau melangkah
Hujan kan datang di pipimu dan pipiku denhan lebat
Petir akan buat gila kita dalam ketakutan.


Dengarkan lah nak! Kumohon!
Turunkan kakimu atau kau dan aku akan jatuh kejurang nestapa abadi
Cobalah fikirkan aku, kalau alasan dirimu saja tak cukup
Kemarilah nak! Dekap aku saja!
Tak perlu kau berangan mendekap ia yang tampak bahagia bersama cinta yang lain; bukan kau.
Marilah bersulang, buat pesta sunyi tuk hibur hati ini.

Tidak nak! Jangan! Bunuh saja aku jika kau nekat melangkah!
Jangan kau kurang ajar padaku yang telah rasai asam garam kehidupan percintaan.

Baik ku takkan teriak sekarang.
Mendekatlah, kakiku terlalu ringkih tuk sekadar menyentuh harum rambutmu nan wangi
Aku menyayangimu lebih dari dirimu sendiri
Jadi takkan ku biarkan kau lantah di bawah bekukan kasih yang hanya sekadar mimpi; tak pernah repot-repot merentangkan tangan tuk memelukmu.

Tunggu nak! Jangan!
Durhaka! Enyahlah ke neraka!


Kamis, 16 November 2017

Sayang?

Sayang? Yang?


1.
Hari ini
Ada yang berbeda dari caraku menatap elok parasmu
Di sana dadaku berdesir, berdegup, dan ribut menahan gelora yang kian mengacung
Kau mencuri semua akal sehat dalam diriku
Hingga ku limbung dan angin keresahan semakin puas mendikte namamu dalam nafasku


2.
Ku harus apa sayang?

Telah ku tampik semua rasa cinta dengan kasar, namun ia tetap datang dengan sopan sambil membelai pipiku lembut
Penuh perhatian, pertimbangan dan perasaan
Tak pernah ku rasakan sedemikian
Dan ku merasa nyaman hingga hanyut dalam khayalan.


3.
Kau memang tak pernah menyentuhku, apalagi memelukku
Namun senyum itu mampu membuatku hangat, menyusup hatiku yang dingin tercelup lautan salju kutub utara.


4.
Kau tau sayang?
Sekelebet dusta tak pernah ku ucapkan lewat kata dan aksara
Ntahlah, mungkin sebuah hukum alam mewajibkanku tuk jujur dalam beretika mencipta kata
Agar rasa bisa lega, melenggang melewati batu-batu kebohongan yang panas dengan sempurna.


5.
Sayang?
Patutkah ku panggil nama itu untukmu,
Bahkan tuk sekadar meredam kecamuk dalam diri yang kian merangkul mimpi?
Sebab panggilan itu merupakan simbol keputusasaan rasa sayang yang harus hilang ditelan malam
Yang kini mem penuh rasa yang mulai mendahaga kau sahut balik.


6.
Namun ketidakmungkinan datang membawa angin segar
Ditangannya sepucuk surat yang berisi pasal-pasal yang tak membolehkanmu mengatakan sayang pada yang lain apa lagi padaku walau hanya sekadar guyonan,
Sebab disana ada mata wanita yang kau amat kupuja; bila tidak salah.



7.
Sayang kutuk lah aku tuk membencimu!
Buat aku tak sanggup mengucapkan itu padamu sebab rasah, gelisah dan takutku makin meluap dan menjadi hujan kesedihan.
Rintiknya batu-batu pemati harapan
Suaranya penegasan kau milik orang
Petirnya menggelegar membuka mataku agar bisa melihat dunia dengan sadar
Dan banjirnya menjangkit penyakit gigil dan demam rindu yang takkan tersampaikan.



8.
Oh tuanku sayang,
Terlalu banyak kata-kata absurd yang ku ucapkan hari ini
Namun bila saja kau menerawang dari lubuk hatiku yang dalam
Semua kata dalam puisi ini belum penuh; belum bisa mewakilkan perasaanku yang utuh
Getaran rindu dan cinta yang tak tuntas dan tak akan tuntas.
Menghakimiku tuk bungkam.


9.
Semoga tuk terakhir kali ku panggil kau sayang.

Sayang?
Bolehkah?
Maaf kalau ku lancang, bila kau tak mengizinkan, ku kan sebut terus kata itu dalam puisiku yang malang
Sebab darimulah kata-kata itu datang menyebab
Tak mau hilang bahkan semakin subur dalam tatap.



10.
Sayang? Yang?

Rabu, 01 November 2017

Pagi dan Malam

Pagi dan Malam


Pagi melintas dikepalaku
Berjejak alarm tuk dapat di pandu
Dia tersenyum dengan senyuman kaku
Ada yang tak beres dalam senyumnya, palsu.

Pagi menyambar bagai petir
Membawa ketakutan hingga seluruh tubuh getir
Jauh dalam sana hatiku berdesir
Memikirkan sallah ucapku padamu semalam membuatku khawatir.

Pagi datang dengan sepucuk surat
Digenggamannya ada ejekan dari malam yang biasanya hangat
Namun begitu anehnya selamam menjadi tipu muslihat
Dalam bekukan pagi, dalam suratnya ku mengumpat.

Entah pagi atau malam yang membenciku tanpa andeng-andeng
Ancer-acnerpun jauh dari dipan gendang
Sorot matanya menyatatku tanpa sempat disiapkan benteng
Dan kini kesalah fahamanterjadi membuatpengang

Duh. Ku ingin tenggelam saja di dasar bumi
Agar ttak kulihat senyum palsu pagi
Agar tak kuterkecoh muslihat malam tadi
Agar ku benahi hatiku yang kunjung bisa menyikapi.

Kepadamu: ku tak pernah bermaksud apapun
Bahkan rasa memikili tak pernah ku diami sekalipun
Ku tak mau  ikatan harus membayar secuilpun
Biarlah  seperti biasanya kita jumpa dengan tak pernah kenal satu kata sapaanpun

Maaf kalau kautersiksa
Maaf kata-kataku membuat hatimu binasa
Semalam hanya  disana, padamu, ada asa
Dan pagi ternyata sekongkol dengan malam menampilkan hal luar biasa.



Jakarta, 02 November 2017

Rabu, 11 Oktober 2017

Selalu Ada yang Membekas

Selalu Ada yang Membekas


pelbagai bekas selalu tertinggal selepas kau buka pintu.
kemarin rasa benci, lalu rasa simpati, lalu rasa suka, lalu rasa sayang, hingga rasa cinta.
Oh! hampir ku lupa! rasa sakit, iri dan cemburu pun mengatmosfer disana.

kau, dengan pergimu itu selalu membawa cenderamata baru.
kemarin rasa benci, lalu rasa simpati, lalu rasa suka, lalu rasa sayang, hingga rasa cinta.
Oh! hampir ku lupa! rasa sakit, iri dan cemburu pun turut pula berpesta.

lalu kau pergi lagi dengan secarik kertas penangkal rindu.
kemarin rasa benci, lalu rasa simpati, lalu rasa suka, lalu rasa sayang, hingga rasa cinta.
Oh! hampir ku lupa! rasa sakit, iri dan cemburu pun turut pula berpesta.



Jakarta, 11 Oktober 2017


****************
Asli ini absurd! duuh. Ku bingung harus bagaimana. baca saja puisi di atas. Semuanya terlihat: Malas mikir, ndak jelas, ndak nyambung, ndak ada artinya, hanya sebuah pelampiasan asal nulis dan absurd.

Sabtu, 23 September 2017

Si Kecap

Si Kecap.


Mataku tak bisa berhenti mengerjap,
Ketika seekor kupu-kupu menarikan tarian harap,
Tak lama berselang, ntah mengapa kakiku mulai tak lagi mantap mendengar derap,
Jantungku mulai abnormal berdetak hampir menembus kedap.

Lazuardi berkunjung keruang tamuku nan pengap,
Dari tangannya, ia sodorkan makanan berlumuran kecap,
Air liurku hampir saja disudut bibirku hinggap,
Bila saja wanitanya tak masuk menyelinap,
Berada dibelakangnya bagai sayap,
Membuat rumahku penuh hujan, petir dan gelap,
Lalu buru-buru ku cairkan senyap,
Ku katakan: ada yang salah dengan lidahku dalam mencecap,
Jadi, aku harus pergi menemui dokter sebelum gelap.

Jakarta, September 2017